Sejarah

Sebuah Tempat Bernama Rabwah

            Pada tanggal 15 Agustus 1945 Raja George VI, yang memerintah India, berkendaraan resmi menuju Istana Westminter untuk membuka babak baru Dewan Rakyat. Partai Buruh yang sosialis telah memperoleh kekuasaan dengan suara mayoritas dan membentuk pemerintahan baru.
           
Pidato dari singgasana yang disampaikannya kepada hadirin yang terdiri dari para anggota House of Lords dan house of Commons merupakan pernyataan mengenai pemerintah yang baru karena raja secara konstitusi berkedudukan diatas politik dan tidak mempunyai hak pendapat. Kebijaksanaan partai buruh adalah agar seluruh rakyat didalam kemaharajaan mengatur diri mereka sendiri didalam Negara-negara yang merdeka.
            “Sesuai dengan janji-janji yang telah diberikan kepada rakyat India saya, Pemerintah saya akan melakukan hal yang terbaik untuk mengadakan, dengan kerjasama bersama para pemimpin opini India, realisasi dari pemerintah mandiri India yang sepenuhnya,”kata raja.
            “Janji itu menjadi kenyataan pada tanggal 15 Agustus 1947 : kenyataan yang tragis,” tulis Zafrullah Khan kemudian hari.
            Earl Mountbatten, Gubernur Jendral India terakhir, harus berjuang untuk tetap mempersatukan anak benua ini sebagai satu kesatuan politik, tetapi sejarah menentangnya. Kedua kebudayaan utama di anak benua itu, Islam dan Hindu , sudah hidup berdampingan selama 8 abad.
            Tentunya mereka telah melakukan aksi dan reaksi terhadap satu dengan yang lain tetapi tidak ada percampuran dalam skala besar dan tentunya tidak ada peleburan membentuk satu amalgam. Salah satu sebabnya adalah setiap kebudayaan itu berasal dari agama dan diantara keduanya tidak ada titik temu. Hasilnya adalah orang-orang Islam dan Hindu membangun dua Negara dan bukannya membangun dua masyarakat, demikian kata para pengamat. Kaum minoritas Islam yakin bahwa dalam India yang bersatu mereka tidak hanya akan menjadi sebuah angka minoritas tetapi juga satu masyarakat minoritas yang tertekan.
            Pembagian India dimulai. Orang-orang yang telah hidup bertahun-tahun sebagai tetangga tanpa niat buruk tiba-tiba saling membenci satu sama lain. Tak seorangpun aman.
            Dimana-mana penduduk mulai mempersenjatai diri mereka. Tahir saat itu merupakan anggota perkumpulan pemuda Ahmadiyah, Khuddamul Ahmadiyah, dan mereka dibentuk menjadi kelompok atau betalyon untuk mempertahankan Qadian. Tujuh puluh ribu orang Islam membanjiri Qadian masuk dari desa-desa didekatnya. Disekitar mereka tinggal orang-orang Sikh dan hindu yang kejam.
             “Kami telah tahu bagaimana cara menembak sejak masa kanak-kanak dan kami terbiasa bekerja dalam organisasi serta menerima perintah-perintah jadi kami mampu mengatur diri kami dengan segera,”kenang Tahir. “Tidak ada kepangkatan tetapi kami diberi tahu orang ini adalah ketua kalian”.          
            “Dengan segera sejumlah tentara biasa dikirim kedaerah kami dan setiap orang dari mereka diberi tugas mengkomando suatu distrik tertentu. Ia menunjuk berbagai petugas dan kami disuruh mematuhi perintah-perintah orang tertentu. Orang-orang itu telah kami kenal sebelumnya.
            “Sisanya tidak kami kenal. System itu begitu terjaga sehingga jika seseorang tertangkap dan ditanyai ia tidak akan tahu siapa yang  bertugas mengkomando daerah itu bagaimana perintah-perintah lain diatur.
            “Tidak ada tingkatan. Kami hanya tahu siapa yang harus kami patuhi”. Kegemaran Tahir dalam berolahraga dan menembak membuatnya bisa dimaklumi ditunjuk sebagai penanggungjawab salah satu unit luar biasa ini. Ia diberi tahu bahwa tugasnyalah mengatur pertahanan pusat Qadian dari serangan apapun.
            “Penunjukan itu sangatlah penting tetapi tidak menyenangkan bagi saya. Saya curiga – dan saya masih percaya – hal itu disengaja untuk menjauhkan saya dari bahaya. Bukan bahaya dalam arti bahaya pribadi, tetapi karena saya masih muda dan mungkin mencari keributan dan bukannya menghindarinya. Jadi mereka mengangkat orang-orang lain – yang usianya lebih tua – pada daerah-daerah pinggiran dimana kemungkinan kericuhan lebih besar terjadi dan menyuruh saya ditengah.
            “Hal itu tidak menyenangkan saya sama sekali. Jadi saya tidak pernah terlibat dalam aksi apapun.
            Tetapi ia terlibat dalam persenjataan dan ekskursi militer. Hal itu menyangkut persenjataan kaum Muslim yang dikumpulkannya di Qadian.
            “Semuanya terdaftar secara satuan jadi itu merupakan sedikit penyimpangan dari hukum yang ketat. Namun hal itu berarti jika ada bahaya serangan, senjata dapat langsung disiapkan serta langsung dapat disembunyikan lagi. Hanya sedikit orang yang tahu dimana senjata-senjata itu disimpan.
            Jadi itulah tugas saya. Sekali, ketika sejumlah besar senjata tambahan datang, digali lubang dilantai rumah saya dan persenjataan itu dimasukan lalu tanah diisi dan diratakan kembali. Saya diperintahkan untuk tidak menyentuhnya dan harus melupakannya sampai saya diberi perintah. Ruangan itu dikunci dan mereka yang hadir berpencar.
            “Ketika saya mulai berpikir tentang tempat persembunyian saya bertanya pada orang-orang yang bersama saya untuk mengusulkan suatu tempat dimana senjata-senjata itu dapat disembunyikan tanpa dapat diketahui. Mereka mengusulkan berbagai jenis tempat dan setelah mereka selesai dan saya berkata, ‘Baiklah, mari lihat suatu tempat yang belum disebutkan.
            “tempat yang belum disebutkan adalah lubang asap !
            “Jadi saya perintahkan agar api kecil dihidupkan dan dinyalakan siang dan malam. Tapi pertama-tama kami membuka lubang asap dan meletakan rak-rak didalamnya sehingga senjata-senjata dapat ditempatkan disana dengan mudah.
            “Tak lama kemudian terlihat seperti hujan akan turun jadi saya meminta seorang sukarelawan naik kea tap dan menutup mulut lubang asap agar hujan tidak merusak senapan-senapan. Ketika ia sedang diatap saya melihat seorang wanita Sikh memperhatikannya  dan hal ini mengganggu saya. Segera saja semua senapan saya turunkan. Saya bawa semuanya kerumah calon mertua saya. Karena saya harus kembali ke pos saya secepat mungkin, saya tinggalkan senjata-senjata itu diatas sebuah tempat tidur secara terbuka.
            “Pagi berikutnya saya keluar pagi-pagi dan melihat tentara-tentara India dimana-mana. Mereka berasal dari dua kesatuan tangguh – Marhati dan Dogra – dan sayangnya mereka terdiri atas banyak tentara yang anti-Muslim. Segera diumumkan bahwa mereka akan memeriksa semua rumah untuk mencari senjata. Rumah kami tentunya salah satu yang pertama diperiksa.
            “Saya merasakan tiga kecemasan mendadak – ada senapan-senapan dibawah lantai, ada rak-rak senjata dilubang asap – dan saya khawatir karena tergesa-gesa  mungkin kami telah meninggalkan sesuatu disana – sementara dikamar tidur saya sejumlah besar peluru yang sedang saya ganti dari *** kecil ke besar.
            “Para serdadu langsung menuju keruangan dimana senjata-senjata sudah dikuburkan dan mulai menggali. Tetapi senjata-senjata itu sudah hilang !
            “Belakang saya diberitahukan bahwa senjata-senjata itu sudah diperlukan cepat-cepat ditempat lain jadi mereka sudah datang dan menggalinya ketika saya sedang keluar dengan senjata-senjata yang lain.
            “Ada seorang tetangga Hindu yang mendengar suara penggalian ketika senjata-senjata itu pertama kali disimpan dan ia telah memperingatkan tentara. Setelah itu para tentara langsung pergi kelubang asap. Wanita Sikh tadi telah memberitahu mereka bahwa kami melakukan sesuatu terhadap lubang asap. Mereka membiarkan seorang tentara turun dari atas, tetapi tidak ada apa-apa disana – hanya sekotak peluru ukuran 0,25. karena kami mempunyai lisensi kami dibolehkan mempunyainya meskipun saya akui bahwa itu tempat yang sangat aneh untuk menyimpannya.
            “Kemudian mereka masuk kekamar saya dimana peluru-peluru itu terdapat dalam kotak-kotak dilaci saya. Seorang tentara mengangkat sebuah kotak dan menggoyangnya.
            “Kacang,”katanya. “Hanya kacang.” Ia kembali menutup laci.
            Itu merupakan satu-satunya krisis serius yang saya hadapi secara pribadi di Qadian dan kota ini, meskipun dikepung oleh tentara-tentara Sikh, tidak pernah diserang.”

………………………………***

            Tetapi pada bulan Agustus 1947 Jemaat ini menghadapi krisis yang tak terduga – keseluruhan wilayah telah jatuh kebagian Negara yang diperuntukan bagi India. Setelah banyak berdoa Khalifah memerintahkan pengosongan. Qadian, tempat dimana Ahmad telah dilahirkan, hidup, dan dikebumikan sudah tentu merupakan kota suci bagi semua orang Ahmadi, tetapi masa depan mereka terletak di Pakistan, Negara yang telah mereka Bantu ciptakan.
            Namun suatu hari kelak, Khalifah berjanji, Jemaat akan kembali ke Qadian.
            Pada tanggal 31 Agustus mesjid-mesjid, sekolah-sekolah, gedung perkantoran, dan rumah-rumah pribadi dikunci dan ditinggalkan, dan sekonvoi truk yang dilindungi kesatuan-kesatuan tentara bergerak keluar Qadian. Diatas truk-truk adalah segala yang dapat mereka bawa. Konvoi itu, diancam selalu oleh orang-orang Sikh, membawa mereka ke Lahore dan kenegara baru Pakistan.
             Tiga ratus tiga belas orang Ahmadi tinggal dibelakang untuk menjaga harta milik Jemaat sampai mereka dapat kembali lagi. Angka ini sama dengan jumlah orang yang bersama Muhammad, Rasulullah, pada perang Badr.
            Di Pakistan para anggota Jemaat berpencar untuk memulai suatu hidup baru. Keahlian dan pendidikan mereka sangat dibutuhkan ditanah air mereka yang baru.
            Khalifah telah menububuwatkan bahwa mereka akan terpaksa meninggalkan Qadian. Wahyu tersebut diterbitkan pada surat-kabar Jemaat Al-Fazal bulan Desember 1941. Tetapi ia juga sangat yakin bahwa mereka akan kembali. Sementara itu mereka akan mendirikan sebuah kota baru – yang akan bertempat diwilayah hijau dan menyenangkan dengan banyak pohon dan mata-air mata-air jernih. Tanah itu dikelilingi oleh bukit.
            Wilayah seluas 1034 hektar ditepi barat sungai Cenab yang dibeli Jemaat dari Pemerintah tidak sesuai dengan wahyu Khalifah Kedua. Tidak-ada pohon-pohon. Tidak ada air. Tanahnya bergaram. Penghuni-penghuninya hanya ular dan kalajengking, serigala dan anjing hutan. Seorang Penulis Ahmadi menggambarkan kondidi aslinya sebagai “alam buas lepas”.
            Lembah itu terletak enam mil dari kota Chiniot pada jalan dari Lahore ke Sarghodha, kira-kira mempunyai panjang tiga mil dan lebar satu mil. Disebelah utaranya terbentang pegunungan batu hitam.
            Tetapi tempat itu mempunyai keunggula-keunggulan tertentu. Sungai Chenab yang mengalir melalui lembah dan jalan kereta api dari Lahore ke Sarghodha, yang membelah tanah yang mereka beli, menjanjikan komunikasi mudah dimasa mendatang.
            Tapi yang paling penting adalah fakta bahwa disana mereka akan ditinggalkan sendiri.
            “Kami lebih menyukai alam lepas ini daripada kota-kota untuk membuat orang-orang ingat pada tugas-tugas mereka, untuk mengatur mereka, dan memberi mereka pendidikan serta latihan moral,”kata Khalifah.
            Lembah ini, yang tingginya sekitar 600 kaki dari permukaan laut dan sekitar 20 kaki diatas dataran sekitarnya, akan menjadi tempat penyelamatan mereka sama seperti gambaran Al-Quran tentang tempat penyelamatan Maria dan Yesus oleh Tuhan.
            “Dan kami jadikan anak Maria serta ibunya sebagai tanda dan kami beri mereka tempat berlindung pada sebuah tanah yang terangkat dengan lembah-lembah hijau dan mata-air mata-air yang mengalir.”(QS,23:51)
            Dalam bahasa Arab kata untuk sebidang tanah yang terangkat demikian adalah Rabwah. Jadi itulah seharusnya nama kota baru mereka, Khalifah memutuskan.
            Sebelumnya, ketika beliau pertama kali melihat lembah itu, beliau menyatakan, “Tempat berlindung yang saya lihat dalam wahyu menyerupai ini dalam banyak segi. Misalnya tempat ini dikelilingi bukit. Tetapi tempat ini kosong sementara tempat yang saya lihat sangat subur hijau. Mungkin tempat ini akan menjadi demikian melalui usaha kita.”
            Rencana-rencana untuk kota baru itu disetujui dan orang-orang Ahmadi awal sampai dilokasi tersebut tanggal  19 September 1948. Mereka harus menegakan tenda-tenda yang akan memberikan akomodasi sementara bagi para sukarelawan yang akan mendirikan kota baru itu. Diantara mereka terdapat Tahir.
            Bangunan-bangunan pertama didirikan dari batu-batu bata yang dibuat sendiri serta pintu-pintu dan jendela-jendela yang dibeli dari bekas lokasi yang ditinggalkan.
            Bangunan-bangunan kecil tak mencolok dari batu bata segera memenuhi lokasi 3000 rumah tinggal yang dirancang dalam rencana kota.
            Kehidupan tidak mudah. Setiap keluarga diberi dua tempat tidur, satu lampu, dan sebuah ember untuk keperluan rumah tangga. Suplai air sangat sedikit. Ahli-ahli geologi mengatakan ada air dibawah tanah, tetapi tidak dapat ditemukan. Barulah tujuh bulan kemudian, dalam April 1949, ditemukan sumur pertama yang berair.
            Untuk menjaga semangat Jemaat, sebuah system pengeras suara dipasang agar pesan-pesan dapat disiarkan dan didengar oleh setiap orang yang bekerja di Rabwah. Suatu malam Khalifah sedang berada dirumah beliau ketika pengeras suara berderak dan hidup kemudian beliau mendengar suara seorang pemuda membacakan puisi yang menyentuh hati.
            Kerja keras mereka mendapat penghargaan, kata pemuda itu. Sukses hampir diraih. Puisi itu mendorong setiap  Ahmadi untuk berusaha lebih giat.
            Khalifah keluar dari rumah beliau untuk mendengarkan dengan lebih baik, beliau berdiri dipagar yang melingkari taman.
            “Itu adalah jenis puisi yang kita butuhkan pada masa seperti ini,”kata beliau,”Saya bertanya-tanya siapa gerangan dia.”
            Istri beliau memandang tercengang.”tidaklah engkau mengenali suaranya,”katanya.”Itu Tahir.”
            Khalifah mendehem dan masuk ke rumah tanpa berkata apa-apa lagi. Bagi orang biasa mungkin terlihat bahwa beliau agak kecewa karena telah memuji Tahir secara tak sengaja.
            Dari suatu segi hal itu benar. Beliau mengetahui suatu rahasia yang pernah disampaikan ibu Tahir kepada seorang temannya dan disuruhnya bersumpah untuk merahasiakannya.
            Tahir sendiri tidak ragu pada kecintaan ayahnya yang besar terhadap seluruh putra-putri beliau, termasuk dirinya.
            “Tetapi beliau selalu mencoba menyimpan emosi beliau tetap terjaga,”katanya.