Politik Cinta Ahmadiyah
Filsafat
politik Jemaat Ahmadiyah secara keseluruhan diletakkan oleh Masih Mau’ud,
yakni: “jika pemerintah menjamin
kebebasan beragama dan berpolitik serta mengizinkan warga negaranya menjadi
maju dengan damai maka pemerintahan itu adalah baik dan harus didukung namun
hal itu tidak mencegah orang – orang Ahmadi secara perseorangan mencari
kebebasan politik yang lebih lanjut”.
“Jemaat sendiri merupakan organisasi non
politis, tetapi seorang Ahmadi disetiap Negara mempunyai hak – hak politik dan
makin kuat mereka berusaha dalam hak – hak ini makin banyak mereka secara
perseorangan dapat mencapai sesuatu .” kata Tahir. (Khalifatul Masih ke IV dalam Ahmadiyah-
pen.)
Demikian ditulis Iain
Adamson, Jurnalis Inggeris kelahiran Scotlandia, dalam bukunya Man Of God.
Buku
yang juga ditambahi tulisan langsung Hz. Mirza Tahir Ahmad ra – Khalifatul
Masih IV itu, disamping laku keras dipasaran umum, kemudian juga menjadi bacaan
jutaan Ahmadi diseluruh dunia. Beberapa kutipan penting buku tersebut layak disimak di buku kecil ini.
Tahun 1928, ketika di
Indonesia terjadi Sumpah Pemuda, di India- Khalifah Kedua Ahmadiyah menulis
sebuah buku Politik berjudul “Hak-hak Kaum Muslim dan Rencana Nehru”.
Tahun 1932, Mr Jinnah
yang semula dikecewakan oleh kurangnya persatuan diantara kaum Muslim, setelah
Konferensi Meja Bundar ketiga, memutuskan untuk menetap di London dan mengejar
karier biasa.
Menjelang tahun 1940,
Khalifah Kedua, yang yakin bahwa Mr Jinnah merupakan satu-satunya orang yang
mempunyai pengalaman politik serta kemampuan untuk memimpin kaum Muslim,
memberitahu Mr A R Dard, mubaligh Ahmadiyah di London, bahwa ia harus mencoba
membujuk Mr Jinnah agar kembali ke
India.
Tanggal 23 Maret 1940,
Liga Muslim Seluruh India ,
dibawah pimpinan Mr Jinnah, mengeluarkan resolusi tentang struktur konstitusi India
di masa depan.
Tahun 1947 Pakistan
merdeka dibawah kepemimpinan Muhammad Ali Jinnah, didampingi Menteri Luar
Negeri Sir Zafrullah Khan, dan Menteri Keuangan Mirza Muzafar .Ahmad. Dua
Menteri Ahmadi itu direstui Khalifatul Masih Kedua untuk mengawal pembangunan Pakistan .
Sejak tahun 1928, Khalifatul Masih Kedua dengan dukungan
penuh para Ahmadi Senior di India, telah
aktip mengilhami dan mensuport penuh rencana berdirinya Negara Islam Pakistan .
Ketika
dianggap persiapan sudah matang, Khalifatul Masih Dua langsung memastikan Ali
Jinnah, sebagai calon Kepala Negara Pertama Pakistan – yang sudah tinggal
di Inggeris, untuk segera dihubungim
Mubaligh Ahmadiyah London- Mr. Daard – menjelang tahun 1940.
Tahun
1947, ketika Pakistan berdiri, Ali Jinnah yang sudah dipastikan Khalifah-
menjadi Orang Nomor satu Pakistan .
Tanpa ragu, Khalifatul Masih segera merestui dua Ahmadi Senior duduk sebagai
Menteri di Kabinet Pertama Pakistan .
Melalui
kerja keras dan Loby Politik Tingkat Tinggi, dua Menteri Ahmadi segara
diperkuat lagi dengan diangkatnya
beberapa Ahmadi Sebagai Duta Besar Pakistan di beberapa Negara Besar Dunia.
Belum
cukup dengan itu, beberapa Perwira Ahmadi di dinas Ketentaraan Pakistan, membuat
prestasi dengan memenangkan beberapa pertempuran dimedan perang perbatasan dengan India .
Mereka segera naik ke posisi Jendral.
Para Aktivis Politik Ahmadi
Fakta-fakta nasihat Politik Pendiri
Ahmadiyah dan langkah Khalifatul Masih ,
yang telah sukses mengantarkan berdirinya Negara Pakistan, adalah Pedoman jelas
yang bisa diteladani para Ahmadi diseluruh dunia dalam mengabdi bagi Bangsa dan
Negaranya.
Di Indonesia, menjelang tahun 1945, R.
Muhidin- Ketua PB Ahmadiyah Pertama- aktip sebagai Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia .
Setelah merdeka, sejak 1945 sampai
akhir tahun 1950 an, Mln.Sayid Syah Muhammad- Mubaligh Ahmadiyah Jogya- aktip sebagai penasihat Pribadi Presiden RI
Pertama Ir.Sukarno, sekaligus sebagai Pejabat Tinggi Departemen Penerangan RI .
Awal tahun 1950an, Ketua PB Ahmadiyah
menjabat sebagai Jaksa agung Muda, dan dimasa itulah – tahun 1953- jemaat
Ahmadiyah resmi memiliki Badan Hukum Penetapan Menteri Kehakiman RI.
Tahun 1966 Pemuda Ahmadiyah Indonesia – Arif Rahman Hakim-
aktip sebagai Mahasiswa Pergerakan bersama Dr.Abd Ghofur, C.Batubara dll, Arif
Rahman Hakim gugur sebagai Pahlawan AMPERA.
Akhir tahun 1960an sampai awal tahun 1980, M.Sadrudin
Yahya Pontoh, anggota PB
Ahmadiyah – aktip sebagai Diplomat dijajaran Departemen Luar negeri serta
menjadi pembimbing senior Menlu Ali Alatas dan
Menteri Agama RI Mukti Ali.
Di era tahun 1980an sampai awal tahun
1990an, sekurangnya Ahmadiyah punya dua
orang anggota yang duduk di MPR. Keduanya adalah Ir.H.Abdul Qoyum SE dan
Kol.Mahmud Ahmad.
Masih di tahun 1980an sampai awal
1990an, ditingkat Propinsi dan Kabupaten ada beberapa Ahmadi yang duduk di
DPRD. Drs. Ahmad Djuweini dan Drs. Makih Ahmad- dua anggota PB Ahmadiyah itu
juga menjabat sebagai anggota DRPD Jawabarat.
Ketua Ahmadiyah Purwokerto- Ir.Munadi-
juga duduk sebagai anggota DPRD pada pereode 1980an sampai awal 1990an.
Sampai pereode tahun 2007- 2008 ada
beberapa Ahmadi yang duduk sebagai anggota DPR RI maupun DPRD, tapi karena
mereka tidak menjabat sebagai Pengurus aktip di Jemaat Ahmadiyah Indonesia,
namanya jarang dikenal dikalangan PB JAI
maupun anggota Jemaat biasa.
Ketakutan
Politik dan Penganiayaan
Dimasa Khalifatul Masih Kedua,
Ahmadiyah begitu kuat dalam mengexspresikan pandangan dan gerakan Politiknya.
Hal itu ditandai dengan dukungan kuat
Ahmadiyah atas berdirinya Negara Islam Pakistan . Bahkan Khalifatul Masih
Kedua juga berani memilih calon Kepala Negara Pertama Pakistan- M.Ali Jinnah. Restu Khalifah atas duduknya dua
Ahmadi senior sebagai Menteri Luar Negeri –Sir Zafrullah
Khan- dan Menteri
Keuangan Pertama Pakistan- Mirza Muzafar Ahmad, telah menghantarkan Negara sempalan India itu , sebagai
Negara berkembang Pertama yang memiliki senjata Nuklir, dengan pertumbuhan
sosial ekonomi terbaik diantara Negara-2
Asia ketika itu.
Walaupun ditahun 1953 ada kerusuhan
anti Ahmadiyah di Punjab, tapi secara
keseluruhan, sejak kader-2 Ahmadi
ditempatkan mendampingi Pemerintah sebagai
Menteri-2 , Duta Besar dan Jendral-2 di dinas Kemiliteran, Pakistan maju pesat
sebagai Negara Islam lebih dua puluh tahun sejak berdirinya.
Pasukan
Ahmadi
“Akibat
– akibat tragis dan mengerikan dari kefanatikan agama selama pemisahan tahun
1947 dicatat baik. Jemaat Ahmadiyah membentuk pasukan mereka sendiri untuk
melindungi nyawa dan harta mereka dan ,ketika pemisahan terjadi, mereka pindah
secara masal ke Pakistan .
Pakistan
mempunyai banyak masalah dalam negeri serta terdapat dua tempat medan perang
dengan India tentang Kashmir, dimana mayoritas penduduk Muslim telah dipaksa
masuk kekuasaan India ”.
(Iain Adamson- Man Of God)
Menjelang Tahun 1965, dimasa
Khalifatul Masih ke Tiga, loby Politik, bahkan Kampanye untuk calon Presiden
Pakistan, juga dilakukan oleh Hazrat Mirza Taher Ahmad- adik Khalifah ketiga
yang kelak menjadi Khalifatul Masih ke Empat.
Mirza Tahir Ahmad- atas restu Khalifah
ketiga, berhasil menghantarkan Zulfikar Ali Bhuto memenangkan Pemilu, dan
terpilih sebagi Presiden dan Perdana Menteri Pakistan .
Hanya karena banyaknya “Penjilat” yang
berada disekeliling Ali Bhuto, begitu terpilih sebagai orang nomor satu Pakistan ,
Mirza Tahir Ahmad justru mengucapkan selamat tinggal. Dan benar-benar
meninggalkan Ali Bhuto terjebak di Puncak kekuasaan, dan tersesat dalam nafsu
kedholiman dibawah pengaruh para Ulama yang memusuhi Ahmadiyah.
Dimasa Pemerintahan Ali Bhuto itulah,
Ahmadiyah Pakistan
dinyatakan sebagai Minoritas Non Muslim, melalui Undang-Undang yang mengancam
sangsi berat bagi Ahmadi yang melanggarnya.
Undang-Undang itu diantaranya melarang
tempat Ibadah para Ahmadi dinamai Mesjid. Kalimat Syahadat dan segala atribut
yang berbau Islam , harus dihapus dari Masjid dan rumah para Ahmadi. Mereka
juga dilarang mengucapkan salam Islam “asalamu’alaikum”, mengumandangkan Azan
dll.
Bagi setiap Ahmadi yang melanggar semua larangan itu,
mereka langsung ditangkap dan dimasukkan penjara. Sudah banyak pemuda Ahmadi, yang karena nekat
ingin menampilkan keIslamannya- terpaksa menghuni penjara-2 Pakistan .
Walaupun Undang-Undang itu dikecam
para Ahli Hukum Pakistan
sendiri, serta dikritik pedas oleh aliansi
Pengacara dari berbagai Penjuru Dunia, Ali Bhuto tak berniat membatalkanya.
Jendral Zia Ul Haq yang mengkudeta
Bhuto, dan menghukumnya ditiyang gantungan, tak juga berlaku lebih baik
terhadap Ahmadiyah. Dimasa Kekuasaan
Zia, Ahmadiyah makin mendapat penganiayaan yang lebih dahsyat.
Di zaman Presiden Zia Ul Haq itulah,
Hz. Mirza Tahir Ahmad yang baru beberapa tahun
duduk sebagai Khalifatul Masih IV Ahmadiyah, harus hijrah dari Pakistan ke London .
Karena tekanan Politik dan
Penganiayaan terus berlangsung, sampai pereode tahun 2008, ketika Ahmadiyah
sudah berganti Khalifah yang kelima, Hz.Mirza Masroor Ahmad – tetap tak bisa
kembali ke Pakistan, dan masih bermarkas di London UK.
Trauma dan ketakutan atas “kegagalan”
pergaulan di dunia Politik yang menimpa para Pimpinan Ahmadi Pakistan , menjalar ke banyak
Pimpinan Ahmadiyah di Indonesia.
Padahal, Hz Mirza Tahir Ahmad- walaupun banyak dikecam
para Ahmadi,
atas kekeliruanya mendekati Politikus
semacam AliBhuto, beliau menyatakan tidak menyesal
terkait dengan pengkhidmatanya kepada Bangsa Pakistan- dulu, sekarang dan yang akan datang!
Karena, kata Hz.Mirza Tahir, jika
beliau tak memilih langkah Politik itu, pilihan yang lain jauh lebih buruk
akibatnya.
Tapi, entah apapun alasannya, sejumlah
Pimpinan Ahmadiyah Indonesia
selalu mengambil jarak dan kurang berusaha mendekat dengan berbagai tokoh
Politik.
Ketika penganiayaan terhadap Ahmadiyah
menjalar di Indonesia ,
sejumlah Ahmadi mulai sadar dan mencoba melakukan loby-loby dengan banyak Tokoh Politik. Pilihan pendekatan
kepada berbagai tokoh tertentu bisa berbeda-beda diantara komponen internal Ahmadiyah.
Apapun bentuknya, aktivitas Ahmadi
dalam mendekati para Tokoh Politik menjadi kebutuhan penting, jika kita tak mau terjebak dalam
kubangan korban-2 Politik.
Pendekatan ke para pelaku Politik harus
menjadi pembelajaran untuk salah satu bekal membenahi situasi dan kondisi
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang masih memprihatinkan, seperti yang digambarkan
oleh Ahmadi muda yang rindu akan cinta
dan kedamaian – melihat fenomena Ahmadiyah sejak tahun 2002 sampat 2008 - seperti yang tertuang
dalam syairnya berikut ini :
Runtuh….
Atap
peneduh ragaku
Luluh…..
Harta
penyejuk jiwaku
Damai….
Tersapu
dusta dan dengki
Sisakan
duka dan air mata
Tuhan….
Padamkan dendam dikalbu
Meski…..
Derita tak tertahankan
Ingin…..
Kuraih sgala Kasih-MU
Tebarkan bagi setiap Hamba-MU
Mentari,
bintang dan rembulan
Jadilah
saksi
ikrar
dan sumpahku
Aku
akan selalu mencinta
Meski
banyak alasan ‘tuk membenci
Sepenggal puisi yang dilantunkan
penyair muda (16 tahun)- dari Jawabarat
itu, rasanya layak menggambarkan derita sejumlah besar pengikut Ahmadiyah di
Pakistan, Banglades dan Indonesia, yang rumah dan harta bendanya hancur , diserbu
dan dijarah penentang Ahmadiyah.
Sementara, walaupun para Ahmadi
memiliki kemampuan membalas, Pimpinan Jemaat Ahmadiyah International tak
mengijinkan mereka melakukan kekerasan, untuk membalas kekerasan yang menimpa
mereka. “Memutus matarantai kekerasan dan menyambungnya dengan Cinta” -
menjadi konsep dasar Ahmadiyah dalam program menyelamatkan dunia.
Orang-orang Ahmadiyah kebanyakan
percaya, bahwa jika terjadi kekacaun yang menghantam Jemaatnya, dinegara
manapun, itu adalah Sunatullah- sebagai tanda kemenangan sudah dekat.
Sedekat apa kemenangan itu segera
datang? Jika hal itu ditanyakan kepada Abu Sofyan, anak Ahmadi Lombok belasan tahun- berdarah Campuran Madiun-Pancor
itu, pasti sulit menjawabnya.
Soalnya, sudah lebih dua tahun mereka
tinggal di pengungsian bersama para Ahmadi lainnya, sejak rumah mereka di
hancurkan dan dijarah para criminal penyerang Ahmadiyah.
Cinta
Kandas di Gang Buntu
Benarkah penyerangan terhadap para
pengikut Ahmadiyah di Lombok, Manislor , Pakistan , Bangladesh dan lain-2 itu bermotip
perbedaan keyakinan? Menurut KH Ma’ruf Amin, Ketua MUI-
yang dikutip Dr.KH.AMiftach, Pimpinan umat Islam Indonesia- khususnya MUI dan
DEPAG RI tidak mempersoalkan keyakinan Ahmadiyah.
Hal itu dibenarkan oleh Prof. KH.Atho
M –Ketua Litbang DEPAG RI, yang menegaskan bahwa Negara menjamin kebebasan
berkeyakinan, yang jadi soal hanyalah bagaimana cara kita mengexspresikan
keyakinan itu.
Jadi, persoalannya, orang Ahmadiyah
yang punya Moto: Love for all Hatred for none- Cinta untuk semua, tiada benci untuk
seorangpun, sambil mengexspresikan keyakinannya bahwa Hz Mirza Ghulam
Ahmad adalah Nabi Umati, merasa bisa menyebarkan
Islam dengan Damai.
Sementara para Habib Jenggot, yang
tidak rela ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad saw, cara mengexspresikan
keyakinannya dengan bertereak-tereak dan membawa pentungan, sambil
menghancurkan apapun yang dianggap berbeda dengan keyakinan mereka.
Indonesia
yang Santun dan Damai
Seperti di Pakistan, kebuntuan
komunikasi dari dua kelompok yang berbeda ini dimanfaatkan oleh para petualang
Politik, yang menghalalkan segala cara. Jika untuk memenangkan pertarungan
Politik harus dilakukan adu domba dan pertumpahan darah sekalipun, hal itu akan
dilakukan.
Tapi, haruskah sejarah Ahmadiyah di Pakistan
mesti sama dengan Ahmadiyah di Indonesia? Andai Sunan Kalijogo masih hidup, atau Mahar
Effendi- Ahmadi Bali- Wartawan Senior Harian Indonesia Raya itu belum wafat,
kita yakin kedua beliau akan sepakat untuk menjawab: “Sejarah
Ahmadiyah Indonesia tidak
perlu sama dengan Pakistan ”!
Soalnya, Sunan Kalijogo telah sukses
menyebarkan Islam di Pulau Jawa dengan damai , melalui budaya wayang dan
gamelan. Sementara Almarhum Mahar Efendi berobsesi ,ingin meng-Ahmadiyah-kan Bali dengan mengadopsi budaya Pulau Dewata, seperti yang sukses dilakukan para Wali di Tanah
Jawa.
Tapi, lihatlah Pakistan, sebelum
berdiri sebagai Negara Islam, sesama
anak Bangsa India, mereka tega saling bunuh dalam perang saudara karena
perbedaan Agama. Mereka saling menghancurkan Masjid dan Kuil, dua tempat ibadah
Agama besar di anak Benua itu.
Dalam soal Negara, sejak merdeka tahun
1945 Indonesia
telah memiliki enam Presiden sampai tahun 2008, saat naskah ini disusun. Walaupun
ada pergantian Pemerintahan yang exstra
parlementer, tapi setidaknya belum pernah ada Kepala Negara, atau bekas
Presiden yang mati terbunuh di Indonesia .
Politik
dan Penganiayaan
Bagaimana
pengalaman Mirza Tahir Ahmad (MTA) dalam bergaul dengan para Politikus, serta memberi warna
terhadap langkah dan kebijakan para
Pemimpin Bangsa, dan peran Hazrat Bashirudin Mahmud Ahmad – Khalifatul
Masih Kedua Ahmadiyah dalam peran besar lahirnya Negara Pakistan,
dirangkum dan dipaparkan Iain Adamson dengan jelas di petikan
sub judul Politik dan Penganiaayaan berikut
ini:
Adalah salah satu ironi sejarah bahwa
Jemaat Ahmadiyah sangat dianiaya di Pakistan , Negara dimana Ahmadiyah
sangat berperan membantu mendirikannya. Sama ironisnya, para cendekiawan agama
atau para ulama, yang dulu sangat menentang keras pembentukan Negara Pakistan ,
sekarang menjadi penganiaya-penganiaya mereka. Penentangan terhadap Jemaat
Ahmadiyah biasanya bersifat keagamaan tapi sering kali penentangan itu diilhami
secara politik untuk membelokkan perhatian masyarakat dari masalah-masalah
sebenarnya atau untuk mencapai kemenangan politik dengan cara-cara yang tidak
baik.
Itulah
yang terjadi dengan Jemaat Ahmadiyah. Dengan orang-orang Muslim lain terhadap
perbedaan-perbedaan fundamental mengenai kepercayaan Jemaat, tetapi ini sering
kali dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik – sebagian
bersifat internal, sebagian internasional. Namun hanya sedikit orang akan
menyangkal bahwa orang-orang Ahmadi adalah tetangga-tetangga yang baik dan
merupakan warga Negara yang baik : kecuali menyangkut kepercayaan-kepercayaan
tersebut, mereka bersifat sebagai orang-orang Muslim yang baik.
Tapi adalah menyenangkan bagi para
ahli politik untuk mempunyai kambing hitam. Penolakan terhadap Jemaat
Ahamadiyah hanya karena motif-motif politik merupakan warisan buruk para
penganiaya.
Tahir, yang pekerjaannya telah
membawanya ke seluruh Pakistan Barat dan Timur sehingga berhubungan langsung
dengan orang-orang politik dari segala partai, secara bertahap mulai berperan
sebagai semacam petugas penghubung dengan berbagai partai politik.
“Kami
mengadakan kampanye dengan bertemu para ahli politik dan memahami kebijaksanaan
mereka. Namun itu tidaklah mencampuri politik. Yang kami pikirkan adalah
kelanjutan Beberapa ahli politik menerimanya secara sopan meskipun mereka menentang kepercayaan kenabian Ahmad. Sebagian ahli politik lagi sangat sekuler dan menentang semua agama. Beberapa ahli politik menjadi sangat dikenalnya dengan baik, masing-masing menghormati ketulusan pribadi yang lain. Yang lain, yang mulanya terlihat netral sejauh menyangkut Jemaat, ternyata ditemukannya tak dapat dipercaya dan bermuka dua.
Kepada seorang ahli politik ia
berkata “Tuan, saya telah menemui banyak pemimpin politik, tapi andalah yang
terlemah dari mereka semua, yang betul-betul tanpa kekuatan.
Agama tidak pernah dapat diputuskan sepenuhnya dari
politik. Adalah tugas setiap agama untuk tetap memperingati ahli politik
tentang tanggung jawab moral mereka terhadap umat manusia. (
Mirza Tahir Ahmad- Man Of God)
“Kalau
saja ia dapat menampar wajah saya, maka ia tentu sudah melakukannya. Ia menjadi
sangat marah. Tetapi ia juga menjadi sangat penasaran. Saya telah mengucapkan
kata-kata tersebut dengan bebas. Saya tahu saya harus menciptakan sebuah gempa
bumi dalam dirinya atau ia tidak akan tertarik pada saya. Jadi saya
memberitahunya konsep saya tentang kepemimpinan, yaitu seorang yang memimpin
rakyatnya menjauhi bencana bukan seseorang yang berada didepan rakyat banyak
dan didorong oleh peristiwa-peristiwa.
Saya memberitahunya bahwa ia sedang
mengendarai kemurkaan rakyat dan ketika rakyat itu telah mencapai apa yang
mereka inginkan mereka akan berbalik menyerangnya dan ia akan menjadi sasaran
kebencian.
Ia telah setuju memberi saya waktu
setengah jam, tapi akhirnya saya tinggal bersamanya selama tiga setengah jam.
Jadi anda lihat tujuan kami bukanlah untuk mengumpulkan kekuatan tetapi untuk
membantu para ahli politik untuk memahami hal-hal dengan lebih baik demi
kesejahteraan Bangsa dan Negara – yang merupakan tugas setiap warga Negara,
bukan hanya tugas kami.
“Sayangnya, sehubungan dengan ahli
politik yang satu ini, perkiraan saya kemudian terbukti benar dan akhirnya ia
ditelan oleh kemurkaan rakyat yang telah dicoba dikendarainya”.
Masih Mau’ud selalu menjauhi politik
dan telah menunjukan bahwa mereka yang mengikuti beliau juga harus menghindari
keterlibatan langsung dengan politik. Tetapi bimbingan moral, kata Tahir
kemudian, merupakan tanggung jawab Khalifah. Agama tidak pernah dapat
diputuskan sepenuhnya dari politik. Adalah tugas setiap agama untuk tetap
memperingati ahli politik tentang tanggung jawab moral mereka terhadap umat manusia.
“Kita harus menasehati mereka,
tetapi kita tidak boleh terlibat,”katanya.
Kemudian
Tahir selalu mengulangi, juga dalam tahun-tahun belakangan ini, bahwa meskipun
Jemaat Ahmadiyah mendukung suatu Negara Islam dan meskipun Islam merupakan
agama yang sangat sempurna, tidak berarti sebuah Negara Islam harus diperintah
secara theokrasi.
“Inti sari ajaran Islam adalah suatu
system pemerintahan yang tidak mengadakan perbedaan antara satu agama dengan
agama lain. Juga tidak memberikan perlakuan yang lebih baik kepada para
pengikut suatu agama dibandingkan yang lain.”
Dalam pertengahan kedua abad ke-19,
kepemimpinan dan agama Islam di India sedang kacau balau. Pada bagian awal abad
itu, dengan penaklukan orang-orang Sikh telah mengambil alih banyak wilayah
yang semula diperintah oleh orang-orang Muslim. Kemudian kekuatan militer
Inggris yang didorong oleh Revolusi Industri di Inggris mengambil alih dan
Kemaharajaan India
pun lahir.
Dalam sebuah analisa mengenai
aktifitas politik Muslim seorang Duta besar Pakistan menulis bahwa pada bagian
terakhir abad ke-19, orang-orang Muslim di India “Telah jatuh ke dalam jurang
kemerosotan rohani dan kehancuran politik dari mana tidak tampak harapan untuk
keluar”.
Salah
satu tugas Masih Mau’ud, menurut nubuwatan Muhammad, adalah untuk menghidupkan
kembali umat Islam. Publikasi buku
pertama Ahmad memenangkan pujian tinggi dari orang-orang Muslim diseluruh
”Menurut pendapat saya buku ini
(Barahin Ahmadiyah) pada saat ini dan dari segi keadaan sekarang, adalah unik.
Sejauh ini belum pernah ditulis buku sebagus demikian dalam menganalisa
Islam,”tulis Maulvi Muhammad Husein, seorang sarjana Islam terkemuka yang
kemudian menjadi salah satu musuh paling keras Masih. Mau’ud.
Orang-orang Muslim pada mulanya
sudah mendukung Partai Kongres Seluruh India ,
yang memperjuangkan kemerdekaan India
sebagai satu Negara, tetapi pada tahun 1905 mereka mulai meragukan masa depan
mereka didalam negeri dimana orang-orang Hindu akan menjadi mayoritas dengan
perbandingan 4:1. Inggris telah mendirikan satu pemerintahan sentral yang kuat
dengan kesatuan militer tunggal dan pelayanan-pelayanan tunggal, meskipun pada
awalnya terdapat banyak Negara merdeka dengan pemimpin-pemimpin mereka
tersendiri yang tersebar diseluruh anak benua ini.
Bagian penting dari kebijaksanaan
Inggris untuk India adalah
konsep geo-politik tentang India
yang bersatu. Namun hal itu tidak berarti bahwa efisiensi administrasi harus
ditinggalkan dan pada tahun 1905 Lord Curzon, Gubernur Jendral India,
mengumumkan bahwa Benggali, yang sudah mulai sukar dikelola, akan dipisah
menjadi dua dengan propinsi baru Benggali Timur dan Assam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar