Tak Ada Monopoli Dalam Kebaikan
Pada tahun 1944, ketika Tahir berusia enam belas tahun dan akan menghadapi ujian matrikulasi ,ibunya wafat . Beliau sudah sakit untuk beberapa lama dan tiga bulan lebih masuk rumah sakit di Lahore .khalifah menunggui beliau hampir sepanjang waktu , juga putri – putri beliau . Tahir , karena ujian – ujiannya , terpaksa tinggal di Qadian dan cuma bisa menjenguk beliau pada akhir pekan .
Zafrullah Khan , seorang sahabat Masih Mau’ud yang kemudian menjadi Mentri Luar Negeri Pakistan ,Ketua Majlis Umum PBB ,dan Ketua Mahkamah Agung Internasional ,adalah sahabat dekat keluarga ini Beliau kemudian berkata bahwa kewafatan ibunya telah membenamkan Tahir dalam kesedihan. Sejak itu tertawa dan kedukaan jelas terpantul dalam puisinya.
Sepupunya, M.M. Ahmad, mengenang, ”Kenangan yang paling jelas dalam ingatan saya adalah peristiwa wafatnya Ibu beliau dalam usia sedang prima, sekitar 40 – tahunan .Hal ini merupakan pukulan hebat bagi seluruh keluarga, juga bagi seluruh Jemaat yang biasanya sangat mencintai dan menghormati beliau secara istimewa .
“Dalam suatu sembahyang di Masjid Mubarak saya masih dapat melihat beliau sebagai pemuda remaja berdiri di ruangan dekat masjid, tempat cadangan kalau umat yang sembahyang melimpah.beliau berada dalam kesedihan mendalam dan sedang khusyu’ sebahyang dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa.
“Saya tidak pernah dapat melupakan pemandangan ** itu, hari ini setelah 46 tahun berlalu, kenangan itu masih jelas dan segar dalam ingatan saya seakan-akan baru terjadi kemarin. Tentunya ada sesuatu yang begitu dalam mengesankan, begitu kuat, sehingga kenangan akan kesedihan itu tidak pernah meninggalkan saya selamanya”
Meskipun pelajaran-pelajarannya masih berjalan tanpa hasil terbaik Tahir telah menjadi kutu buku. Ia tidak hanya membaca karya-karya penulis Urdu klasik tapi juga terjemahan-terjemahan berbahasa Urdu dari Shakespeare, Charles Dickens, Conan Doyle, dan penulis -punulis Inggris lainnya. Beliau menganggap “Tiga Orang Di Perahu” karya K. Jerome sangat lucu.
Di rumah ada pengertian terhadap nilai-nilai budaya Eropa, katanya. “Hal itu tidak terlalu asing bagi kami karena, dalam beberapa hal ayah saya berpikiran sangat maju. Dalam pendidikan putri-putri beliau, beliau sangat Liberal. Mula-mula beliau menggaji seorang guru Jerman, kemudian seorang guru Inggris, untuk mengajar saudara-saudara perempuan saya. Mereka tinggal di rumah kami.”
“Jadi sejak kecil saya mengenal tata cara Jerman dan Inggris. Saya tahu bagaimana mereka memandang sesuatu hal. Dan, tentunya, karena membaca begitu banyak buku-buku dari Inggris saya terbiasa mengenal kehidupan orang Inggris dan humor mereka”
Tahir sudah mulai menulis puisi. Mula-mula ia menyimpan puisinya hanya untuk diri sendiri – tidak banyak penyair muda yang suka memaparkan pikiran mereka kepada *** orang tua dan saudara-saudara. Tetapi kemudian hal itu diketahui keluarga dan ia diminta untuk membacakan salah satunya.
“Puisi itu begitu sedih dan membuat tertekan,”kenang Tahir, “Tapi saya masih heran ketika melihat sebagian anggota keluarga menangis.
“Setelah itu mereka biasa memanggil saya “Ayo, bacakan beberapa puisimu”. Sebagian puisinya riang ceria, sebagian lagi sangat lucu, dan lainnya sangat sedih. Saya kelihatannya tidak pernah menulis setengah-setengah.”
Kedua saudara Ibu mengambil alih tugas ibunya dan Tahir jadi menyayangi mereka. Ayahnya membimbing pendidikannya agak tegas. “Dalam beberapa hal beliau sangat tegas. Dalam beberapa hal lain beliau santai. Beliau sangat menarik – kombinasi antara ketegasan dan santai.
“Ayah saya memahami kelemahan manusia jadi beliau tidak suka kalau kesalahan kami dilaporkan kepada beliau. Jadi beliau akan memberi kami waktu dan kesempatan untuk mencoba membuat kami mengerti. Jika kelemahan-kelemahan itu muncul kepermukaan beliau akan menasehati kami tanpa menyebutkan nama yang bersalah, beliau menjelaskan bahwa hal-hal yang demikian salah dan harus dihindari.
“Tetapi jika seseorang tertangkap berbuat kesalahan beliau akan menghukum dengan keras. Prinsip-prinsip beliau sangat tegas. Dalam masalah keuangan beliau tidak akan mentolerir kesalahan yang paling kecilpun. Seorang Khalifah harus melatih Jemaat dalam sebuah system pengorbanan uang yang seluruhnya berupa pilihan. Itulah sebabnya beliau tidak pernah plin-plan kepada siapa yang lalai dan memboroskannya.
“Terhadap keluarga beliau, beliau sangat tegas. Saya ingat sekali waktu saya menulis surat ke Calcutta untuk mengirimkan barang kepada saya. Beliau menjadi curiga dan bertanya, ‘Apakah kamu memintanya ? Apakah kamu sudah bayar ? Apakah dia menawarkannya sebagai hadiah ?
Saya jawab bahwa ia menawarkannya sebagai hadiah, tapi saya tolak., saya sudah bayar setengahnya dan masih harus membayar sisanya. Beliau menjadi sangat marah dan memberitahu saya bahwa hadiah-hadiah datang dengan sukarela, tidak harus diminta. Jika kamu meminta sesuatu maka kamu harus langsung membayarnya. Kalau tidak kamu memaksa orang yang kamu mintai tolong untuk berkorban uang.”
Kadang-kadang Khalifah akan menyebut Masih Mau’ud jika beliau ingin mempertegas suatu masalah. Beliau selalu menyebut Masih Mau’ud sebagai pendiri Jemaat, tidak pernah sebagai kakek mereka.
Misalnya, Suatu kali, beliau melihat Tahir keluar rumah tanpa topi. Dinegara-negara barat membuka tutup kepala didepan orang-orang terhormat adalah tanda hormat. Di Timur menutup kepala adalah tanda hormat.
Jadi Khalifah memanggil Tahir kembali kerumah. “Lihat,” kata beliau. “Pendiri Jemaat tidak akan suka jika kamu pergi kejalan seperti itu. Jadi lain kali pakailah selalu topimu.”
Beliau juga berkeras dalam adat-adat serta kebiasaan-kebiasaan Islam sepeti memasang sepatu kanan terlebih dahulu dan memasuki mesjid dengan kaki kanan.
Pentingnya agama-agama lain sangat ditekankan dalam ajaran beliau kepada anak-anak beliau. Mereka diberitahu agar mereka tidak mencoba memonopoli kesucian, amal-amal baik, nilai-nilai moral saja sehingga dalam agama lain tidak ada. Juga bukanlah sikap seorang muslim yang baik untuk menjauhi tetangga hanya karena ia seorang Hindu atau Sikh.
Khalifah tentu saja mengetahui ‘Jembatan’ yang dibuat oleh Tahir, saudara-saudara laki-lakinya, dan anak-anak Hindu disebelah rumah untuk menghubungkan rumah mereka. Beliau menyetujui ini.
Jadi meskipun kadang-kadang para anggota fundamentalis Hindu dari Sekte Ariasamaj datang ke Qadian untuk mengadakan konferensi dan membual bahwa mereka akan menghancurkan Jemaat Ahmadiyah beserta setiap orang didalamnya, ekses agama ini tidak mengganggu persahabatan anak-anak Khalifah dengan tetangga-tetangga Hindu mereka.
“Kami diberitahu untuk tidak menentang kepercayaan-kepercayaan agama lain dengan polemik, tetapi dengan perbedaan-perbedaan pendapat yang dipegang murni. Kami tidak pernah diizinkan mengubah perbedaan pendapat ini menjadi pertengkaran dalam sikap hidup sehari-hari kami”
Tentang kebenaran logika Islam Tahir tidak mempunyai keraguan, tapi ia mulai memasuki keraguan tentang eksistensi Tuhan sendiri.
“Saya merasa yakin bahwa secara teoritis Tuhan dapat ada. Tetapi apakah ia masih ada ?”. (MOG/hr/hns/kk)